GENERASI YANG HILANG

Nama : Dafid

Tugas Akhir Sejarah Pendidikan dan Intelektual

Tentang Generasi yang hilang

Modernitas yang sarat akan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengubah jalan hidup banyak orang dan cara mereka berkomunikasi.

            Bahasa daerah kian lama, semakin ditinggalkan dalam kominukasi, dicampakan karena cenderung dianggap kuno, terbelakang, “kampungan”. Setidaknya itulah fenomena yang nyata di kalangan masyarakat yang katanya maju dan beradab itu lebih bangga melisankan bahasa Indonesia yang dicampur bahasa asing dalam keseharian. Hal itu membuat tutur bahasa daerah mereka tak lagi tertata dalam budaya yang sehat. Bagi kalangan generasi muda di perkotaan maupun pedesaan, mereka cenderung lebih menyukai penggunaan term-term “modern” yang mereka sebut “gaul” untuk berkomunikasi sehari-hari. Padahal, term-term tersebut tak lebih dari pada pepesan kosong yang tak bernilai. Generasi muda, generasi saya saat ini, penerus bangsa saat ini telah mencabut akar budaya bangsanya sendiri. Mereka rela bahasa daerahnya sebagai warisan budaya luhur nan agung itu, layu dan mati tergilas oleh roda modernitas. Media cetak, media elektronik, media sosial, media-media yang menjadi arena berinteraksi banyak orang itu hanya semakin mengikis penggunaan bahasa daerah. Memang banyak manfaat positif yang dapat diambil dengan menggunakan media itu, tetapi bahasa daerah tak lebih sebagai “serpihan debu” di lapang yang dipenuhi dominasi budaya asing atas kultur lokal bangsa ini. Sejatinya, bahasa daerah adalah bahasa yang terkait akan latar belakang etnis, suku, budaya, yang begitu kaya di Indonesia. Bahasa daerah mencerminkan identitas bangsa ini, cermin kita sebagai bangsa kaya akan budaya dan bahasa. Betapa tidak, bangsa Indonesia memiliki sekitar 700 lebih bahasa daerah, tetapi yang tercatat oleh kementrian pendidikan dan budayaan (Kemendikbud) hanya sekitar 450 saja. Kemana sisanya? Sebagian sudah musnah, dan beberapa terancam punah. Bahasa-bahasa Sunda yang notabene berada di pulau Jawa pun kini terancam punah. Miris memang, tetapi inilah faktanya. Secara sosiologis, pudarnya bahasa daerah tersebut tak lepas dari determinasi faktor internal yang berasal dari masyarakat Indonesia sendiri, dan faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat. Setidaknya, di antara faktor-faktor internal ialah:

  1. Melemahnya Sosialisasi dalam Keluarga Orang tua merupakan agen utama dalam menjembatani anak terhadap etnis, budaya, serta bahasa daerahnya. Namun kebanyakan orang tua saat ini tidak lagi menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa primer ketika berkomunikasi di rumah. Para orang tua cenderung menggunakan bahasa Indonesia saat berbincang bersama anak-anak mereka. Padahal peran mereka sangat vital dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya daerah, khususnya mensosialisasikan bahasa daerah, khususnya mensosialisasikan bahasa daerah sebagai alat komunikasi sehari-hari. Kurangnya sosialisasi orang tua mengakibatkan anak tidak lagi menjadikan bahasa daerah sebagai sense of belonging. Bahkan sebagian anak bangsa tidak mengenal sama sekali bahasa daerahnya.
  2. Disorientasi Kurikulum Pendidikan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih memprioritaskan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa daerah. Bahkan bahasa-bahasa asing seperti bahasa inggris, Jerman, dan Jepang dinilai lebih berharga ketimbang bahasa daerah. Memang di beberapa sekolah di tingkat kabupaten masih menyertakan bahasa daerah dalam kurikulumnya, namun itu tak lebih dari sekedar muatan lokal (mulok) saja yang diajarkan tak lebih dari dua jam mata pelajaran dalam seminggu. Ketimpangan ini didorong oleh hasrat untuk dapat berkontestasi di era modern. Orientasi pendidikan yang berusaha menjunjung bahasa nasional dan internasional telah mengkebiri urgensi bahasa daerah menjadi bahasa marjinal.
  3. Kurangnya Kesadaran Generasi Muda Generasi muda lebih suka melestarikan bahasa gaul dan bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Budaya dan nilai-nilai yang berlaku di anak muda saat ini telah mengenyampingkan bahasa daerah. Mereka ter-“hipnotis” akan kemewahan semata dari bahasa gaul yang berkembang dalam keseharian. Tak lagi ada kesadaran bahwa bahasa daerah adalah warisan budaya luhur yang harus dilestarikan. Mereka tak lagi sadar bahwa mereka telah “membunuh” khazanah budayanya sendiri. Ketiga faktor internal tersebut telah menguliti bahasa daerah secara perlahan hari demi hari. Dinamika masyarakat modern saat ini mematikan perkembangan bahasa daerah, bahkan membunuhnya pelan-pelan. Selain faktor internal itu, kita pun perlu melihat faktor eksternal yang bertanggung jawab atas pudarnya bahasa daerah ini: 1. Modernisasi dan Globalisasi kemajuan peradabannya yang canggih dan modern telah menciptakan proses globalisas telah membuat dunia bagai kampung/ desa raksasa yang terhubung oleh media komunikasi yang terus mengalami perkembangan. Kemudahan akses komunikasi dan informasi yang dirasakan sebagai implikasi dari kemajuan tersebut tak lebih daripada “makelar budaya” asing, termasuk bahasa asing, yang menginternalisasikan bahasa asing kepada masyarakat sehingga terbuailah mereka akan kelestarian bahasa daerahnya, bahasa bangsanya. 2. Eksistensi Bahasa Asing di Indonesia bahasa asing yang telah ada di tanah air ini sejak masa kolonial kian eksis dan lestari. Modernisasi telah menuntut masyarakat untuk menguasai bahasa asing agar dapat berkonstestasi di dunia internasional, baik dalam aspek pendidikan, bisnis, ataupun politis. Memang hal ini baik jika dapat mengharumkan nama bangsa asing, semkin bodoh pula kita untuk mengacuhkan bahasa daerah sebagai harta bangsa ini. 3. Dominasi Kultural Globalisasi telah menyemai benih-benih budaya barat ke berbagai belahan dunia sehingga terjadi pertautan antara budaya lokal dan budaya global. Demikian pula bahasa, bahasa asing yang telah mendominasi kehidupan masyarakat modern telah mengikis kebutuhan masyarakat akan bahasa daerah. Bahasa daerah dipandangi lebih rendah derajatnya dibandingkan bahasa asing (bahasa Inggris, Mandarin, Jerman, Prancis, bahkan bahasa Arab termasuk di dalam hal ini ).mental inlander (pribumi) yang tercipta sejak masa kolonial telah mendoktrin masyarakat untuk memandang rendah bahasa daerahnya sendiri, identitasnya sendiri. Pengaruh dominan kultur global, khususnya kultur bahasa asing yang terus disemai ke segala penjuru oleh negara-negara maju telah mencekik aliran nafas bahasa daerah. Baik faktor internal maupun eksternal, keduanya berdampak fatal bagi kelestarian bahasa daerah. Semakin sedikit masyarakat yang menggunakan bahasa daerah saat ini, maka jangan harap anak-cucu kita akan dapat bersapa dengan bahasa luhur daerahnya di masa kelak. Bukankah bahasa daerah adalah identitas bangsa Indonesia? Warisan leluhur bangsa? Kekayaan bangsa kita? Maka, sepatutnya masyarakat Indonesia harus membuka mata, membuka hati, dan kembali menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Kalau bukan bangsa lain yang sudi melestarikannya. Tentu tak cukup hanya berbekal tangan masyarakat saja untuk melestarikan bahasa daerah. Kontribusi pemerintah, terutama kemendikbud patut rasanya untuk ambil peran. Diharapkan pemerintah dapat mengubah orientasi kurikulum pendidikan untuk menyelaraskan antara bahasa global dan bahasa lokal maupun nasional juga dapat turut berpartisipasi dalam rangka resosialisasi bahasa daerah. Media-media dapat memberikan isu-isu terkait pelestarian bahasa daerah, dan kembali menyertakan bahasa daerah dalam program-program unggulannya. Peran media sangat penting dalam mengubah cara pandang masyarakat untuk tidak terlalu xenosentris terhadap bahasa asing. “kembalikan titah bahasa daerah, bahasa ibumu, warisan bangsamu ke harkat singgasana yang luhur.

DAFTAR PUSTAKA

https//www.kompasiana.com

Leave a comment